Biografi KH Hasyim Asy'ari
|
ULAMA PEMBAHARU PESANTREN
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu
organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh
pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia
juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang,
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang
secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang
menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang
santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya,
Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11
bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih
giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu
mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia
berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di
Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren
Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai
menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh
at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan
mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari
memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga
pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan
membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap
bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya,
mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama
perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para
santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai
daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional,
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan
ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai
Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama
teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai
Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi
penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran
terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan
umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri
dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang,
Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa
bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan
Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh
pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari
membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947
karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
|
|||||||||
Biografi Nurcholis Madjid
|
GURU PLURALISME INDONESIA
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul
Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini
dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan
agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.Nurcholis Madjid, yang populer
dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam
di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme
telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia adalah guru
pluralisme Indonesia. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus dalam
berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, merupakan ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim
milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai
intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus
dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid,
dikenal sebagai pendukung Masyumi. Dari kedua orang tuanya, dia mewarisi
darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar Islam di Indonesia
yang sangat berpengaruh yaitu Masyumi yang “modernis” dan Nahdlatul Ulama
(NU) yang “tradisionalis”.
Nurcholish memperoleh pendidikan dasarnya di Madrasah al-Wathaniyyah yang
diasuh oleh ayahnya. Kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Pesantren
Dar al- `?lum, Jombang. Pesantren ini salah satu pusat penting kaderisasi
tradisionalisme Islam NU. Karena merasa tidak puas, dia kemudian minta kepada
ayahnya untuk dipindahkan ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.
Sebuah pesantren modern yang aspirasi keIslamannya lebih dekat kepada
modernisme Islam Masyumi.
Tahun 1962, Nurcholish hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan pendidikan di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Jakarta (Sekarang Universitas Islam
Negeri). Saat kuliah di IAIN ini dia mulai berkiprah di organisasi
kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa (HMI), yang didirikan pada tahun 1947. Dia
menyelesaikan studi kesarjanaan IAIN Jakarta tahun 1968. Kemudian tokoh HMI
ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat
(1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api.
Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain,
menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa meniti jalan
pembaruan.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih
masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental
membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari
lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah
salah seorang pemimpin partai politik Masyumi.
Saat
terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri,
ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur
Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan
nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar,
bicara soal-soal politik.”
Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong
Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak,
politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi
saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat
politik.”
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang
sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul
Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu
adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam
keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang
menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab
dipanggil Mas Tom.
Ketua Umum HMI Dua Periode
Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Di organisasi inilah kemampuannya mulai menonjol. Pada tahun 1965,
misalnya, ia menulis Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), rumusan doktrin
ideologis HMI yang hingga sekarang masih dijadikan materi wajib dalam
pengkaderan puluhan ribu anggotanya.
Karena kemampuannya demikian menonjol (saat itu, ia antara lain menguasai
bahasa Arab dan Inggris secara aktif dan bahasa Perancis secara pasif), dia
terpilih sebagai Ketua Umum HMI untuk dua periode: 1966 – 1969 dan 1969 –
1971. Hingga saat ini, dialah satu-satunya Ketua Umum HMI yang terpilih dua
kali.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada
awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai
demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai
pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang
dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor
Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.
Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya
tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk
memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan
westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya
demokrasi.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat
secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan
Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang,
hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar
Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena
pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar
Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom
menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum
HMI.
Pemikiran
Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan
Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan
pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap
partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai
atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai
Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar.
Bahkan, bagi
kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di
mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu
itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi
lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak
harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang
lebih luas, yaitu kebangsaan.
Karena
gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir
aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran
Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari
negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis
disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual
Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish
sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini
dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak
berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan
Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,”
ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang
cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya
tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu,
menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan
uang,” kata Utomo.
Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan
teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai
saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak
mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh
atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu,
orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,”
ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia
kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk
meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan
segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah
tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang
menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika
dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara
qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata
tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan
Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun
1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di
Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara
lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak
Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang
yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah
disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat
Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan
harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan
HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak
mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur
datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.
Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menunjukkan
besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada
Soeharto memintanya mundur.
Namanya sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden
Pemilu 2004. Namun akhirnya ia mengundurkan diri dari proses pencalonan
melalui Konvensi Partai Golkar. Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama
dirawat di Singapura.
Berpulang Dalam Damai
Nurcholis Madjid menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya.
Cak Nur, panggilan akrabnya, mengembuskan napas terakhir di hadapan
istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail,
menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat
Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya.
Cak
Nur dirawat di RS Pondok Indah mulai 15 Agustus karena mengalami gangguan
pada pencernaan. Pada 23 Juli 2004 dia menjalani operasi transplantasi hati
di RS Taiping, Provinsi Guangdong, China.
Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium
Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah
penerima Bintang Mahaputra Utama itu diberangkatkan dari Universitas
Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara
yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan (TMP) Kalibata Selasa (30/8) pukul 10.00 WIB. Sementara, acara
pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab.
Sejumlah tokoh datang melayat dan melakukan shalat jenazah. Di antaranya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden
KH Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Siswono Yudo Husodo, Rosyad Sholeh,
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin,
Azyumardi Azra, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua Panitia Ad Hoc II DPD
Sarwono Kusumatmadja, Wakil Ketua DPD Irman Gusman, Agung Laksono.
Juga melayat Pendeta Nathan Setiabudi, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi.
Sementara pernyataan dukacita mengalir antara lain dari Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin),
Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, keluarga besar
Solidaritas Tanpa Batas (Solidamor), dan lain-lain.
Seluruh bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi ikon
pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di negeri ini. Gagasan tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia
menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah
bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan.
Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia. |
Pahlawan Nasional - Sri Sultan Hamengku Buwono IX (19l2-1988)
|
BANGSAWAN YANG DEMOKRATIS
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta. Dengan wawasan barunya ia menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Ia memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram. Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom. Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja. Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939. Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah. Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya. Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya." Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyataak keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional. Penggagas Serangan Oemoem Berdasarkan dokumen-dokumen asli yang kini dimiliki Arsip Nasional RI semakin jelas, penggagas Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil wawancara mendiang Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London tahun 1980-an secara jelas mengatakan hal itu. Dari wawancara itu juga terungkap, peran mantan Presiden Soeharto yang ketika itu masih berpangkat Letnan Kolonel hanya sebatas sebagai pelaksana saja. "Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bukan Pak Harto seperti selama ini diyakini pemerintah Orde Baru," kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis Paeni, dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta, Jumat (10/3) petang. Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau mengadakan SO 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional bahwa "denyut nadi" Republik Indonesia masih hidup. Ide itu, jelas Muhklis, lalu didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran Jenderal Sudirman, Sri Sultan lalu menghubungi Letkol Soeharto soal ide itu dan membicarakan pengoperasiannya. Sejarah Mudah Berbaur Dongeng Penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Maka, sejarah seringkali mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan layaknya wong agung. Hal tersebut diungkapkan oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) X dalam sambutannya pada peresmian Tetenger (tanda) Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (29/6/02). Sultan HB X menyatakan, seorang pelaku sejarah atau tokoh sejarah yang memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya tidak hanya merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga merusak bangsa. Sebab, apa yang ditulis berdasarkan keterangannya itu akan memberikan nuansa tertentu dalam proses pemahaman terhadap jati diri bangsa. Sumbangan masyarakat Tetenger Pelurusan Sejarah SO 1 Maret itu terbuat dari batu besar seberat 8,4 ton diambil dari lereng Merapi, yang disangga oleh bangunan patma dari cor beton. Di batu itu terdapat tulisan Tetenger Pelurusan Sejarah Serangan Oemum 1 Maret 1949. Di kaki penyangga juga terdapat tulisan Pertemuan Sultan HB IX dengan Komandan Werkhreise (WK) III, dengan penunjuk arah panah ke selatan. Artinya, di sebuah ruangan kompleks Keraton Yogyakarta yang terletak di sebelah selatan tetenger itu menjadi tempat pertemuan HB IX dengan Komandan WK III. Komandan WK III yang dimaksudkan itu adalah Letkol Soeharto (mantan Presiden). Letak tetenger ini di sebuah taman luar keraton yang disebut Keben, atau berjarak sekitar 200 meter dari Monumen SO 1 Maret yang terletak di depan Istana Presiden Gedung Agung yang dibangun pada masa pemerintahan Orde Baru. Dana tetenger yang digarap oleh seniman patung kenamaan Yogyakarta Edhi Sunarso ini didanai dari masyarakat lewat dompet yang dibuka oleh Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas dan Radar Yogya. Makna tetenger pelurusan sejarah SO 1 Maret ini, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panitia Marsoedi (pelaku sejarah), bahwa penggagas ide SO 1 Maret 1949 bukan Letkol Soeharto sebagaimana tertulis dalam sejarah yang ada saat ini, tetapi HB IX. Sedang pelaksanaan operasi lapangan adalah pasukan WK III yang dikomandani oleh Letkol Soeharto. Penting Dalam sambutannya HB X menyatakan, iklim reformasi ditandai suasana keterbukaan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi sejarah untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan momentum yang tepat, karena sesungguhnya penulisan sejarah bukanlah persoalan kecil. "Historiografi harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh verifikasi, untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku sejarah dalam kaitan peristiwa sejarah," tegas HB X. Menyinggung sejarah SO 1 Maret 1949, HB X menyatakan, pada tanggal itu sekitar pukul 06.00 pasukan TNI menyerang Yogyakarta yang diduduki Belanda sejak 19 Maret 1948. Pasukan TNI mampu bertahan selama enam jam di Yogyakarta. Berdasarkan peristiwa sejarah ini, di tahun 1950-an Usmar Ismail memproduksi film semidokumenter yang diberi judul Enam Jam di Yogya. Sementara setelah itu diproduksi peristiwa yang sama dengan nuansa yang berbeda dengan judul Janur Kuning. Meskipun situasi telah berubah dengan munculnya Tetenger SO 1 Maret 1949, bagaimanapun tak bisa dipungkiri peranan Letnan Kolonel Soeharto waktu itu tetap penting dan patut dicatat dalam sejarah. Tidak mudah dalam kondisi yang serba terbatas, dengan alat komunikasi yang primitif, merencanakan dan melancarkan suatu serangan terkoordinasi dengan melibatkan paling sedikit 2.000 prajurit. Namun, lanjut HB X, SO 1 Maret 1949 yang dimaksudkan sebagai persitiwa politik-militer dengan dampak internasional -meskipun pimpinan negara ditawan di Pulau Bangka- pasti telah melibatkan tokoh-tokoh lain, bukan seorang Soeharto sendiri. |