WALI SONGO
Senja hampir
bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu.
Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi
indah itu terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8
April 1419.
Di latar nisan itu
tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah
21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi
Malik Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan
menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir
miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang
pemerintahan dan agama.”
Demikian terjemahan
bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai kubah
itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim
disebut sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di
Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah
tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig
paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in
Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim,
menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar.
Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat
tinggi.
Sekalipun Malik
Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein,
jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata
”wali” dan ‘’songo”. Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang
yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo berasal dari bahasa
Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang
termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali
yang bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan
ini diduga diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya
Islam. Wali Songo seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta
di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera
bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan
Kama di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu,
atawa Nayu, di barat laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai
manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama besar yang menyemaikan benih
Islam di Jawadwipa.
Figur para wali
–sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu
dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum
tercapai ”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu.
Terdapat beragam-ragam pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang
berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana Malik
Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias
Sunan Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum
Ibrahim alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias
Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias
Sunan Muria.
Namun, komposisi
Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam bukunya,
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh
Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan
Universitas Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh
Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono
tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk Wali
Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti
Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat
tentang jubuhing kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat
mengguncang iman orang dan menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali
Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah
sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah
itu. Teori ini diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama
Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua
penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka
menjelaskan, sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami
lima kali pergantian anggota. Pada periode awal, anggotanya terdiri dari
Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi,
Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh
Subakir.
Pada
periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik
Ibrahim, Malik Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada
periode ketiga, masuk Sunan Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai,
Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang pulang ke Persia.
Pada
periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo.
Kedua tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi
yang wafat. Sunan Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir.
Ia menggantikan Raden Patah, yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang
pertama.
Analisis
tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan
Ampel, yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan,
seolah-olah Sunan Ampel masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup
pada 1540-an.
Adapun
Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang
merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin
Sunan Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo
yang disebut dalam buku ini –Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan
wali terkenal di Jawa.
Nama
mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat
maupun babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat,
dan serat, yang mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga
menggambarkan, Wali Songo hidup dalam kurun waktu yang bersamaan.
Para
wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid
Demak dan Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan
berbagai persoalan keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain,
dapat dibaca di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad
Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung
Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk
”Dewan Wali Songo”. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam
para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan
Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh
Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.
Ditambah
dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama
Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang
tersurat di Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa
Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai
gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.
Tapi,
peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga
bertindak selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri
membentuk dinasti keagamaan, dan secara politis berkuasa di wilayah Gresik,
Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang
bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.
Di
luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga
dianggap sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak
seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di
Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia
dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan
Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng
Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H.
Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran
Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan
tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia
bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan
Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa
ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari berdakwah,” kedua pakar
sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.
Usai
bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang
beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji.
Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan
Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks
makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi
Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada
prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada
1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung
dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De
Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang
dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan
masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah
ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang
ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes
pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri
Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,” tulis De Graaf,
yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.
Selain
Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya
murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah
Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara
merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.
Kalijaga
meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki
Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas.
Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga.
Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro
berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun
kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan
murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka
kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi
padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga
membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya
hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar,
mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya
nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10
kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan
Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.
Julukan
itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik
–anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang
dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia
membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan.
Semuanya kebagian.
Kia
Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya
mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat.
Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu
dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga
membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya
mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara
berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para
santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara
memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah
Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali.
Legenda keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai
kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian
sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat
dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga
memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur
di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan
pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di
Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi,
ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan
ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah
perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri.
Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa
Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun,
tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang
berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana.
Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu
kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar
berukuran 6 x 5 meter.
Di
sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan
agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter.
Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu
situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada
GATRA.
Syahdan,
Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura,
Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid
Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan
ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia
tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak
kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum
”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan
Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga,
dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya
dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak
pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin
meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton
wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya,
Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah:
menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah
menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478,
Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia
diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan,
pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga
dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan
ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun
dijadikan rujukan.
Menurut
Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang,
dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan
Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan
Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui
Sunan Giri.
Pengaruh
Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta
berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut,
kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau
khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika
Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling
Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40
hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya
kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak
itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam
pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri
Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai
pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak
jelas batas wilayahnya.
Tampaknya,
Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu,
putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri
bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin
menyebarkan agama Islam.
Setelah
bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di
daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah
penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit.
Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya
raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila
laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat
sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu.
Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari
pertapa sakti.
Dalam
pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi
Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana
Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak
Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh,
syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh
keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan
dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati
menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil
mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam,
bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa
jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali
ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang
sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah
bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya
kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah,
peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang
menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih,
pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko
Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko
Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena
kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah
bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum
Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus
singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya,
Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah
Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya
mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan
yang diberikannya.
Kini, jejak
bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih
membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya.
Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
SUNAN AMPEL
( RADEN RAHMAT )
PRABU Sri
Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan
pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan
Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara
berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan
menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja. Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari. Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443. Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang
dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat
sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan
''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai
musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri,
berasal dari shastri --orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya. Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim). Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga. Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa. Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya. Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air. Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa. |
SUNAN BONANG
( SYEH MAULANA
MAKDUM IBRAHIM )
Dari berbagai
sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana
Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut
Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu
Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat
Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang
Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa
,tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil, Raden
Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin .
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat
dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar ,
maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin . Disebutkan
dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden
Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh
Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para
ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf
yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar
di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden
Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal
sebagai Sunan Giri .
Sedang Raden Makdum
Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam berdakwa
Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
Bonang adalah
sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu
dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga
penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita
rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi
para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti
banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari
mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang
ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat
Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil
direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam
dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Diantara tembang
yang terkenal ialah :
“Tamba ati iku sak
warnane,
Maca Qur’an
angen-angen sak maknane,
Kaping pindho
shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong
kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu
wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir
wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa
ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati
) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca
Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan
shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering
bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat harus
sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering
berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu
mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang
lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di
pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat
banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena
beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya
gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk
.Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang
sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan
Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda . (Nederland
)
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap. Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Dikisahkan beliau
pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya
mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending
ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian
mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan
niat jahatnya.
“Ampun ……….
hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu
dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan
sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian
tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah,
kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu,
teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan
mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata
Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan
tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu
terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami
setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
“Ya, walau dosamu
setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”
Akhirnya Kebondanu
benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula
anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India
yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat
tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar
menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para
pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak
dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar
laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang
berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan
menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan
tongkatnya ke pasir.
“Saya datang dari
India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang
Brahmana.
“Untuk apa Tuan
mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu .
“Akan saya ajak
berdebat tentang masalah keagamaan ,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab
–kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .”
Tanpa banyak bicara
lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah
air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang
Brahmana.
“Itukah kitab-kitab
Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan
pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki
berjubah putih itu.
“Apakah nama daerah
tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana
“Tuan berada
dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para pengikutnya
menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki itu .Mereka sudah dapat mendiga
pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapalagi orang
sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang .Sang
Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu
kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada
Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.
Sunan Bonang wafat
di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga
Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di
pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu.
Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya,
sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang
Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Adalagi legenda
aneh tentang Sunan Bonang .
Sewaktu beliau
wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan
Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya
tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di
Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami ’Tuban.
|
SUNAN GIRI
( JOKO SAMUDRA )
SELAMA 40 hari,
Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh
Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah
pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung. Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter. Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA. Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul. Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan. Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri. Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi. Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya. Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya. Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti. Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak. Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti. Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam. Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. |
SUNAN GRESIK
( MAULANA MALIK
IBRAHIM )
Matahari baru saja
tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang
giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria
menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda,
duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama
makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk. ''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin. Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya. Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur. Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut. Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam. Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir. Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam. Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja). Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi. Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik
mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar
masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan
Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia
menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar. Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid. Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''. Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis. Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia. Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya. Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu. Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim. Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total. Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik. Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419. |
SUNAN GUNUNGJATI
( SYARIF
HIDAYATTULLAH )
1.
ASAL USUL.
Sebelum
era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari
Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya.
Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu
menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah,
putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan
adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu
terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan
agama Islam.
Wajah
Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona
membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti
orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang
akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar
adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang
membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada
Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin
memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan
mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran
Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan
pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru
beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh
Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran
Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya
dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak
orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang.
Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala
Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang
yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan,
banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga
terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda
disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian
besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian
dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam
bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian
lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi
syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk
melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak
beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah
sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu
mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan
seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani
Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip
mendiang istrinya.
Sesudah
ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh
Bayanillah.
Rarasantang
dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah
Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran
Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa
dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan
dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana
yaitu Pakungwati.
Dalam
waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa,
terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat.
Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang
Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga
merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri
Manggana.
Sementara
itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda
yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud
pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian
diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama
besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat
banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa
kesulitan melakukan dakwah.
2.
PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering
kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif
Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif
Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa
Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sedang
Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti
bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati
yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan
menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im
datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir
dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu
disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi
sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah
Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk
Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah
saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479,
karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang
dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu
Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu
Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan
agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan
perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan
Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten.
Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama
islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja
sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan
diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan
berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini
dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli
siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan
prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah
menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai
raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak
buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih
dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan.
Diantaranya
dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan
Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka
jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar
Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti
Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin
erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan
bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi
Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan
harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan
putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan
tersimpan di tempat yang aman.
Istana
dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif
hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada
tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati.
Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo
dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu
Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai
lambang persatuan ummat.
Selesai
membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan
wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran
mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar
yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim
Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka.
Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap,
dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama
Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi
mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam
di Tanah Jawa.
Raden
Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus
atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakan pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang
sahid.
Pada
tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat
sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda
Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju
Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang
sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa
Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan
bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja
Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ?
Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri,
maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru
yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah
titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi
komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil
gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka,
sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah
ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah
dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di
kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar
Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah
kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda
Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa
Barat.
Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai
raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak
meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat
dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung
kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku
Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia
Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus
Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan
Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati
atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak
Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan
Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan
Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun
masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar
Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah
yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati.
Adapun
nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan
Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan
pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian
wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam
kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Demikianlah
riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.
|
SUNAN KUDUS
( RADEN JAKFAR
SODIQ )
MESKI namanya Sunan
Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota
Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq.
Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden
Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung
terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya. Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang. Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon. Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak. Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya. Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung. Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu. Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa
versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far
Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq
berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far
Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru
mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud. Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud. Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana. Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam. Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak. Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian. Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut. Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya
di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh
karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah.
Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi
naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar
di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit
yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh
karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada
beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang
beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau
Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup
serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga
menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al
kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers
call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really
meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but
it because applied to the whole town."
Kebiasaan
unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa
kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke
masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di
masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau
wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang
Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan
segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Nama
Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh
yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya
sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan
otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam
dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa
pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana.
Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga
oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah
malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun
kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi
reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi
hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak
pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu
sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian
masjid di Kudus.
Jauh
sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak
di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali.
Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk
pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai
Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari
penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke
kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk),
tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera
dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa
masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban),
berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk,
sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih
jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar,
masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah
Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Sekali
peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap
Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki
Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan
kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa.
Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan,
bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh
beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu
itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa :
ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain
itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan
ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh
Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala
itupun hidup kembali.
Di
dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan,
bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin
tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan
Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya
mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru
saja memeluk agama Islam.
|
SUNAN MURIA
(RADEN UMAR SAID)
1.
ASAL USUL.
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga
dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam
berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai
mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di
sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu
puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut
Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut
dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan
kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan
beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2.
SAKTI MANDRAGUNA.
Bahwa
Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuatfisiknya dapat dibuktikan dengan
letak padepokannya yang terletak diatas gunung . Menurut pengalaman penulis
jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai kemakam
Sunan Muria (tidak kurang dari750 M).
Bayangkanlah,
jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat
,atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu
tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang
kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan
Muria.Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi,
demikian pula murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam
kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri
Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini
sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang
genap dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua.Seperti : Sunan Muria,
Sunan Kudus ,Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri .Tetangga dekat
juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul DewiRoroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
rupawan.
Terutama
Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar
mekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang
murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono
dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi
cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi
Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang
mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah
lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali,
lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi
bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan
berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin
malu.
Hampir
saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri
gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya
karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah
pulang ke tempatnya masingmasing.
Tamu
dari jauh terpaksa menginap dirumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan
Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat
memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya
mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak sadarkan
diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari
gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah
Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik
oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa
putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada
yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan
kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia
memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya
akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata
Sunan Muria.
Tetapi,
ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua
orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah
Keling.
“Mengapa
Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri
sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya
lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi
Roroyono.
“Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono
kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar
membantu.” Demikian kata Kapa.
“Aku
masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.
“Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting,
percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa
ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok
para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari
tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku
Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang
tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang.
Ingin
mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu
dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai
Pathak Warak berhenti kau !”Bentak Sunan Muria.
Pathak
Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang
di depannya.
“Minggir
! Jangan menghalangi jalanku !” Hardik Pathak Warak.
“Boleh,
asal kau kembalikan Dewi Roroyono !”
“Goblok!
Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri !Kini aku hendak mengejar mereka!”
Umpat Pathak Warak.
“Untuk
apa kau mengejar mereka?”
“Merebutnya
kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit .
“Kalau
begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku !”Ujar Sunan
Muria sambil pasang kuda -kuda.
Tampabasa-basi
Pathak Warak melompat dari punggung kuda .Dia merangsak ke Arah Sunan Muria
dengan jurus –jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga
yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan ,Pathak
Warak telah jatuh atau roboh ditanah dalam keadaan fatal. Seluruh
kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri
apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana,
kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri
telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil
alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya
menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara
pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu
diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi
orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.
Sedang
Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup
bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari
Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita
jelita itu.
Siang
malam mereka tak dapat tidur.Wajah wanita itu senantiasa terbayang.Namun
karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat
berbuat apa-apalagi.
Hanya
penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru –buru menawarkan
jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang
nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah
ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga
kehormatan mereka. (kemaluan).
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono
yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh
Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini
Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk
menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji
rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia
hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria,
terjadilah pertempuran dasyart .Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi
Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui
ajalnya dipuncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat
Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam
hari.
Tak
seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan
beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap
murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi
Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya
itu ke Pulau Seprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk diPulau Seprapat .Ini biasa
dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa.
Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak
Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya
berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran
akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya
tertarik dan masuk Islam secara suka rela.
Ternyata,
kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang
Datuk.
“Memalukan
! benar-benar nista perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakanda
seperguruanmu sendiri itu !” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa
guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?”
protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?” Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai
matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya Itu
murid kusendiri!”
Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria
sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya
sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara
Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh,
melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan
Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh
Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata,
serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu
puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya
sendiri.
“Maafkan
saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak
mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah
memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan
kejahatan,” Guman sang Wiku.
Dengan
langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa
adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada
akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup
berbahagia.
|